Perlahan tapi pasti terseret paksa ke dalam Desember, sementara hati masih ingin bermain-main di November. Terlalu terluka di bulan ke sebelas, enggan beralih sebelum semua tak lagi membekas. Tuntas. Tapi, jarum waktu enggan membantu. Terlalu takut menjadi luka akut.Terlalu kuat ingatan memutar luka demi luka yang saling sambut. Sementara waktu terus berlanjut.
Ada sudut hati yang menyodorkan seulas senyuman beberapa hari belakangan. Ada bagian yang meluapkan rasa bosan, menjelma senyuman. Seperti mengutip bait-bait puisi dari sang penyair favorit.
Tuhan menciptakan pegal di punggungmu di hari Sabtu, menjadikannya linu di hari Minggu, dan menyembuhkannya di hari Rindu ~
Desember meringkas waktu menjadi sepenggal tunggu. Ingin cepat pulang menuju malam, hujan, kopi, dan punggungmu ~ @jokopinurbo
Tiap penghujung tahun, di musim penghujan selalu berhias air langit yang mengguyur dan air mata yang menderas. Harus? Lagi-lagi gerimis luruh pagi ini untuk meredam tangis air langit sore nanti. Kerjapun damai tanpa khawatir banjir saat usai. Air langit meruah malu-malu. Seolah belum ada aba-aba lantas mereka runtuh satu per satu. Tanpa menyatu.
Lantas tercipta gerimis, saya suka. Berbeda dengan hujan yang selalu menyisakan panik. Gerimis di Jumat pagi itu menenteramkan, menjadikan panorama indah di luar sana. Bulir air yang menempel di kaca mobil akibat tampias dan aroma hujan serta bau tanah, menjadi penyemangat pagi.
Mengais rejeki di Karawaci itu serasa jauh, di pinggiran kota. Gimana nggak coba ....dengan kondisi selepas hujan yang melekat di baju dan sepatu, terlihat lucu mana kala sampai di Jakarta dengan cuaca cerah nan gerah. Tapi yasudahlah......
Adalah sia-sia mengeluhkan kondisi jalan. Hal termanis adalah menikmati sisa-sisa hujan. Anggap saja suguhan sore, menikmati sepaket banjir dan macet. Berbumbu teriakan merdu juru parkir, ditingkahi musik klakson nan menggoda. Sedaaap !!
Hanya membiarkan imajinasi berlari menyeruak banjir dan macet, saya cukup berdiam diri. Terkunci kondisi.
